MENGENAL SOSOK MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir di desa Mahallat Nashr di al-Buhairah, Mesir tahun 1265 H/1848 M. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah, sedangkan ibunya bernama Junaidah. Abduh bin Hasan Khairullah adalah penduduk Mahallat Nashr, daerah Buhairah, Mesir, tetapi karena situasi politik yang tidak mendukung menyebabkan dia berpindah ke daerah Gharbiyah. Di Gharbiyah dia bertemu dengan Junaidah dan menikah dengannya. Junaidah dikenal sebagai seseorang yang masih memiliki silsilah keturunan dengan Umar bin Khatab, Khalifah yang kedua.
Keluarganya hidup dari hasil pertanian, namun mempunyai jiwa kegamaan yang teguh, taat, dan berpandangan terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Sejak masih kecil Muhammad Abduh sangat disayangi oleh ibu dan bapaknya karena ia banyak menunjukkan sifat-sifat yang mulia, kecerdasan otak yang menjadi tumpuan harapan, dambaan, dan kebanggaan. Ayahnya menganjurkan Muhammad Abduh untuk menuntut ilmu pengetahuan. Masa pendidikannya dimulai dengan pelajaran dasar membaca dan menulis yang didapatkan dari orang tuanya sendiri. Kemudian sebagai pelajaran lanjutan ia belajar al-Quran pada seorang hafizh. Dalam usia 12 tahun, ia sudah mampu menghafal seluruh isi al-Quran.
Muhammad Abduh kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Thanta sekitar 80 Km dari Kairo, sebuah lembaga pendidikan Masjid al-Ahmadi, milik al-Azhar, untuk belajar tajwid al-Quran. Selama dua tahun belajar di Thanta Muhammad Abduh justru menemukan kekecewaan karena metode yang digunakan hanya mementingkan hafalan tanpa adanya pengertian. Muhammad Abduh berpendapat lebih baik tidak belajar daripada hanya menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahwu dan fikih yang sama sekali tidak dipahaminya.
Muhammad Abduh kemudian memutuskan kembali kedesanya dan dia dinikahkan pada usia 16 tahun pada 1865. Empat puluh hari setelah perkawinannya, ia dipaksa oleh orang tuanya kembali ke Thanta. Muhammad Abduh kemudian berencana kembali ke Thanta, tetapi dalam perjalanan menuju ke Thanta, Muhammad Abduh berbelok arah menuju desa Kanisah Urin. Di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Muhammad Abduh kemudian bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Quran dan menganut pemahaman tasawuf asy-Syadziliah. Dari pamannya inilah Muhammad Abduh menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan mendapat semangat untuk kembali menimba ilmu.
Syekh Darwisy banyak memberikan dorongan pada Muhammad Abduh untuk terus belajar. Syekh Darwisy selalu mengajak Muhammd Abduh untuk membaca buku bersamanya. Setelah Muhammad Abduh selesai membaca satu kalimat, Syekh Darwisy memberikan penjelasan panjang lebar tentang maksud kalimat tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat Muhammad Abduh kembali semangat untuk kembali belajar. Tahun 1282 Muhammad Abduh kembali ke Thanta untuk belajar dan kemudian Muhammad Abduh pergi ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan pelajarannya di al-Azhar.
Tahun 1871 Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani banyak mengenalkan Filsafat pada Muhammad Abduh. Jamaluddin al-Afghani menjadi tokoh alternatif Muhammad Abduh dalam memperdalam ilmu pengetahuan, bukan saja yang berhubungan dengan ilmu agama Islam, tetapi juga ilmu lainnya. Muhammad Abduh rajin menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Jamaluddin al-Afghani. Dari kedekatan itulah akhirnya Jamaluddin al-Afghani berhasil merubah Abduh dari seorang tasawuf dalam arti sempit kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.
Metode pengajaran yang diterapkan Jamaluddin al-Afghani dinamakannya dengan metode praktis yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi. Selain pengetahuan teoritis, Jamaluddin al-Afghani juga mengajarkan kepada Muhammad Abduh pengetahuan praktis, seperti berpidato dan menulis artikel. Kegiatan yang demikian tidak hanya membawa Muhammad Abduh untuk tampil di depan publik, tetapi juga secara langsung mendidiknya untuk jeli melihat situasi sosial politik di negerinya.
Muhammad Abduh menyelesaikan kuliah di al-Azhar tahun 1877 dengan mendapat gelar alim. Muhammad Abduh kemudian mengajar di al-Azhar dan Perdana Menteri Mesir Riad Pasya juga mengangkatnya sebagai dosen di Darul Ulum, selain itu Muhammad Abduh juga mengajar di rumahnya sendiri. Pendidikan menjadi fokus utama perubahan yang dilakukan Muhammad Abduh. Melalui pendidikan Muhammad Abduh menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan perkembangan zaman. Kondisi pemerintahan turut mendapat sorotan dari Muhammad Abduh, terutama tentang politik pengajarannya. Muhammad Abduh menganggap politik pengajaran yang ada menyebabkan mahasiswa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajah asing.
Tahun 1879 Khedive Ismail digantikan oleh Taufik Pasha. Pemerintahan Taufik Pasha lebih bersifat kolot dan reaksioner terhadap pembaharuan yang ada. Taufik Pasha akhirnya memecat Muhammad Abduh dan mengusir Jamaluddin al-Afghani dari Mesir karena pembaharuan yang mereka bawa. Tetapi pada tahun 1880 Muhammad Abduh kembali diberi tugas oleh pemerintah untuk memimpin majalah Al Waka’i Al Mishriyah yang dibantu oleh Zaglul Pasya yang kemudian menjadi seorang pemimpin Mesir.
Posisinya sebagai pemimpin redaksi surat kabar pemerintah menambah peluang kritiknya terhadap pemerintah pada berbagai bidang, seperti agama, sosial, politik, dan kebudayaan. Melalui tulisannya Muhammad Abduh berhasil menumbuhkan semangat nasionalisme dikalangan rakyat Mesir. Semangat nasionalisme rakyat Mesir semakin memuncak hingga akhirnya meletuslah pemberontahakan Urabi Pasha. Pemberontakan Urabi Pasha merupakan bentuk protes dan pemberontakan terhadap kebijakan politik rasialisme di bawah pimpinan Ahmad Urabi Pasya. Pemberontakan Urabi Pasya muncul karena perwira-perwira Turki dan Syarkas lebih diutamakan dibandingkan dengan perwira-perwira dari Mesir sendiri. Perwira-perwira Turki dan Syarkas menduduki posisi penting sedangkan perwira-perwira dari Mesir mendapatkan posisi yang rendah. Gerakan ini kemudian menuntut pemerintahan yang demokratis dimana Mesir harus berparlemen. Gerakan ini merupakan bentuk perlawanan atas turut campurnya Inggris dan Prancis dalam pemerintahan Mesir.
Akibat keterlibatanya dalam pemberontakan Urabi Pasya, Muhammad Abduh dibuang ke luar negeri untuk masa tiga tahun dan Muhammad Abduh memilih Syiria (Beirut). Muhammad Abduh mendapat kesempatan mengajar di perguruan tinggi Sulthoniyah di Beirut selama kurang lebih satu tahun. Tahun 1884 Abduh pergi ke Paris atas panggilan Jamaluddin al-Afghani dan kemudian bergabung dengan gerakan Al ‘Urwatul Wutsqa. Masa-masa di luar negeri ini oleh Muhammad Abduh dipergunakannya untik menulis dan mengunjungi berbagai tempat serta mengajar. Ia berkunjung ke Inggris, ke Tunis, dan negara-negara lainnya.
Tahun 1885 Muhammad Abduh kembali ke Beirut lewat Tunisia dan kembali mengajar di Beirut. Di sini Ia menghentikan aktifitas politiknya dan lebih banyak mengajar, menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ilmu pengetahuan berbagai bidang ke dalam Bahasa Arab. Pada tahun 1888 Muhammad Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan mengajar, karena kekhawatiran pemerintah Mesir atas pengaruh pembaharuan yang akan muncul pada para mahasiswa.
Muhammad Abduh kemudian diangkat menjadi hakim pada pengadilan negeri, awalnya di Benha dan Zagazig. Muhammad Abduh dipindahkan ke Kairo dan menjadi hakim di pengadilan negeri Abidin. Tahun 1890 M ia diangkat sebagai penasihat pada mahkamah tinggi.
Selama menjalankan tugasnya sebagai hakim, Muhammad Abduh juga berusaha melakukan perubahan di Universitas Al Azhar. Pada Tahun 1894 Muhammad Abduh diangkat menjadi anggota Majlis A’la dari Al Azhar. Posisi ini menjadikan Muhammad Abduh mampu mempergunakan kesempatan yang ada untuk menuangkan berbagai ide pembaruannya. Ia tidak saja melakukan pembaruan di bidang peradilan sesuai dengan jabatannyan, tetapi juga di bidang pendidikan yang menjadi pokok perhatiannya.
Pada tanggal 3 juni 1899, Muhammad Abduh diangkat sebagai mufti Mesir. Sosok Muhammad Abduh berbeda dengan mufti-mufti sebelumnya, seperti yang disampaikan dalam Risalah Tauhid:
Berbeda dengan Mufti-Mufti sebelumnya, Muhammad Abduh tidak membatasi dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja, tetapi ia memperluas jabatan itu untuk kepentingan kaum muslim. Apa saja masalah-masalah yang timbul dikalangan kaum muslimin, terutama bangsa Mesir, yang dihadapkan kepadanya, dilayaninya dengan senang hati dan diselsesaikannya dengan baik. Demikianlah jabatan itu dijabatnya hingga ia meninggal dunia.
Menjelang pertengahan tahun 1905, usia Muhammad Abduh sudah menginjak usia 55 tahun. Kesehatan Muhammad Abduh semakin menurun karena seringnya melakukan perjalanan jauh serta aktifitas yang berlebihan diusia senjanya. Pada awal bulan juni 1905 Muhammad Abduh sudah tidak mampu keluar rumah lagi dan hanya terbaring ditempat tidur, namun masih tetap bekerja dan berpikir. Atas nasihat dokter, Muhammad Abduh dibawa ke Iskandariyah agar bisa beristirahat dan mendapat udara yang segar. Di Iskandariyah Muhammaduh dirawat oleh saudara sahabatnya, Muhammad Beik.
Banyak rencana Abduh yang masih terbengkalai yang ingin ia lakukan, namun Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal di Rumah Sakit Ramel Alexandria tanggal 8 Jumad al-Awwal 1323 H/11 Juli 1905 M. Dengan kereta api jenazahnya di bawa ke Kairo dan kemudian disalatkan di Masjid Jami’ al-Azhar. Upacara pemakaman dilakukan secara resmi oleh Pemerintah Mesir. Seluruh dunia Islam berkabung, seorang pembangun semangat baru telah berpulang ke hadapan Allah SWT.